Krisis Percaya Diri adalah merupakan bagian dari kehidupan remaja. Saya sendiri sempat mengalaminya saat masih duduk di Sekolah Menengah Atas. Pada saat itu saya begitu khawatir dengan munculnya jerawat, naiknya berat badan, potongan rambut dan semua hal yang kesemuanya nggak jauh-jauh urusan penampilan. Bahkan..ssst..novel kedua saya yang berjudul "Gendut, Siapa Takut?" terbitan Grasindo, Jakarta merupakan rangkuman pengalaman masa SMA yang bukan main begitu penuh konflik.
Artikel pertama saya di selancar juga membahas mengenai sebagian keinginan diri kita yang terkadang ingin menjadi seperti orang lain. Yang hitam ingin putih, yang putih ingin hitam. Yang berambut lurus ingin jadi ikal, yang ikal ingin menjadi lurus. Bahkan sebuah rublik kesehatan di majalah remaja membuat saya ingin tertawa, dalam satu edisi memuat dua keluhan yang kontradiktif, yang satu menanyakan bagaimana caranya agar badannya yang kurus bisa menjadi gendut. Satunya lagi menanyakan bagaimana caranya badannya yang gendut bisa jadi kurus. Hahaha…
Hampir semua remaja mengalami hal tersebut, dan rela menghabiskan ratusan ribu dari koceknya hanya untuk merubah sesuatu yang tidak dia sukai dari dirinya menjadi berbeda atau menjadi apa yang dia inginkan. Terlebih lagi banyak iklan yang menawarkan perubahan penampilan fisik secara instant. Iklan-iklan produk pemutih merajalela, produk pelangsing menjamur, dan semua iklan yang menjanjikan perubahan penampilan yang serba cepat. Hemmm…Padahal banyak diantara kita yang akhirnya kecewa ternyata iklan tersebut tidak seperti yang dijanjikan. Kecewalah hati ini dan diperparah lagi dengan hilangnya percaya diri dan kecemasan yang terus menerus. Rugi banget deh!
Syukurlah krisis PeDe tidak begitu lama hinggap dalam diri ini. Saya menyadari bahwa setiap orang pasti pernah merasa tidak puas dengan penampilan fisiknya sehingga mencari cara untuk bisa “merasa” tampil lebih baik. Dan mulai bertanya dalam hati mengapa ya penampilan itu amat begitu penting bagi sejumlah orang ? Apakah Roberta Honigman & David J. Castle, yang menyatakan bahwa gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya; bagaimana seseorang mempersepsi dan memberikan penilaian atas apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, dan atas bagaimana ‘kira-kira penilaian orang lain terhadap dirinya. Sebenarnya, apa yang dia pikirkan dan rasakan, belum tentu benar-benar merepresentasikan keadaan yang aktual, namun lebih merupakan hasil penilaian diri yang subyektif. Apakah apa yang saya nilai mengenai diri saya belum tentu seperti yang orang nilai atas saya? Apakah yang orang lain nilai mengenai diri saya adalah bukan seperti yang saya nilai atas diri saya sendiri? Akhirnya saya mencari jawaban dan menemukan pernyataan tegas atas diriku sendiri, "Bukan hanya penampilan yang saya butuhkan!"
Memang benar dalam masyarakat sudah terbentuk image bahwa seseorang yang secara penampilan lebih dari yang lainnya (Cantik, tampan, langsing, kekar, dll) akan memiliki peluang lebih besar untuk mencapai segalanya dibandingkan yang biasa-biasa saja. Padahal, kesempurnaan atau pun kecantikan itu adalah sebuah nilai yang relatif, karena berbeda antara satu individu dengan yang lain, antara satu budaya dengan yang lain, antara satu masyarakat dengan masyarakat lain.
Pada tahun 1891, seorang psychopathologist dari Italia, Enrique Morselli, memunculkan istilah dysmorphobia untuk menerangkan kondisi patologis seseorang, karena terus menerus memikirkan imagine defect, atau “kekurangan imajiner” dirinya. Istilah Body Dysmorphic Disorder (BDD), secara formal juga tercantum dalam Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder (4th Ed), untuk menerangkan kondisi seseorang yang terus menerus memikirkan kekurangan fisik minor atau bahkan imagine defect. Akibatnya, individu itu tidak hanya merasa tertekan, bahkan kondisi tersebut melemahkan taraf berfungsinya individu dalam kehidupan sosial, pekerjaan atau bidang kehidupan lainnya Padahal sebenarnya mereka tidaklah buruk seperti apa yang mereka pikirkan dan nilai. Bahkan, mereka tampak seperti orang-orang kebanyakan lainnya. Memang agak parah juga jika krisis ini terus berlanjut biasanya lambat laun mereka akan menunjukkan sikap pemalu, sulit menjalin kontak mata, komunikasi dan memiliki self esteem yang rendah. Mereka seringkali bertingkah ekstrim untuk mengkamuflase atau menutupi apa yang mereka anggap kekurangan yang memalukan. Misalnya, berulang kali bercermin, berdandan yang memakan waktu sangat lama. Mereka pikir, dengan berdandan dan mematut diri, akan mengurangi kecemasan, padahal, justru semakin lama, akan semakin membangkitkan kecemasan karena mereka semakin memperhatikan “kekurangan” tersebut.
Menurut Gary K. Arthur MD, penderita BDD pada umumnya mendatangi dokter, dermatologist, atau pun ahli bedak plastik, untuk menangani ketidakpuasan mereka terhadap beberapa bagian tubuh. Biasanya, banyak penderita BDD yang tidak hanya overly concern terhadap satu hal saja (misal, hanya pada bentuk hidung), tapi mereka biasanya juga tidak senang atau tidak puas terhadap beberapa bagian tubuh lainnya, seperti bagian dari wajah, rambut, bentuk tubuh, dan bagian tubuh yang lainnya.
Membangun konsep diri dan pola pikir yang lebih positif dan obyektif dalam menilai diri adalah merupakan solusi paling tepat untuk krisis ini. Selain itu, kita harus melatih diri untuk membangun alternatif strategi dan jalan keluar dalam mengatasi pikiran-pikiran obsessive yang mengganggu konsentrasi dan meningkatkan pengendalian diri terhadap tindakan kompulsif-nya (misalnya, untuk terus menerus bercermin). Yang tidak kalah pentingnya, adalah adanya dukungan keluarga atau sahabat untuk membicarakan emosi-emosi yang sedang kita rasakan , bersikaplah terbuka atas kekhawatiran dan kecemasan yang kita rasakan. Memang proses ini bukanlah proses yang mudah, namun membutuhkan pengertian dan kesabaran yang dalam. Bagaimana pun, masalah krisis Percaya Diri ini adalah masalah yang cukup rumit untuk dipecahkan sendirian. Kamu tahu, kita selalu butuh orang lain untuk memecahkan persoalan!
Artikel pertama saya di selancar juga membahas mengenai sebagian keinginan diri kita yang terkadang ingin menjadi seperti orang lain. Yang hitam ingin putih, yang putih ingin hitam. Yang berambut lurus ingin jadi ikal, yang ikal ingin menjadi lurus. Bahkan sebuah rublik kesehatan di majalah remaja membuat saya ingin tertawa, dalam satu edisi memuat dua keluhan yang kontradiktif, yang satu menanyakan bagaimana caranya agar badannya yang kurus bisa menjadi gendut. Satunya lagi menanyakan bagaimana caranya badannya yang gendut bisa jadi kurus. Hahaha…
Hampir semua remaja mengalami hal tersebut, dan rela menghabiskan ratusan ribu dari koceknya hanya untuk merubah sesuatu yang tidak dia sukai dari dirinya menjadi berbeda atau menjadi apa yang dia inginkan. Terlebih lagi banyak iklan yang menawarkan perubahan penampilan fisik secara instant. Iklan-iklan produk pemutih merajalela, produk pelangsing menjamur, dan semua iklan yang menjanjikan perubahan penampilan yang serba cepat. Hemmm…Padahal banyak diantara kita yang akhirnya kecewa ternyata iklan tersebut tidak seperti yang dijanjikan. Kecewalah hati ini dan diperparah lagi dengan hilangnya percaya diri dan kecemasan yang terus menerus. Rugi banget deh!
Syukurlah krisis PeDe tidak begitu lama hinggap dalam diri ini. Saya menyadari bahwa setiap orang pasti pernah merasa tidak puas dengan penampilan fisiknya sehingga mencari cara untuk bisa “merasa” tampil lebih baik. Dan mulai bertanya dalam hati mengapa ya penampilan itu amat begitu penting bagi sejumlah orang ? Apakah Roberta Honigman & David J. Castle, yang menyatakan bahwa gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya; bagaimana seseorang mempersepsi dan memberikan penilaian atas apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, dan atas bagaimana ‘kira-kira penilaian orang lain terhadap dirinya. Sebenarnya, apa yang dia pikirkan dan rasakan, belum tentu benar-benar merepresentasikan keadaan yang aktual, namun lebih merupakan hasil penilaian diri yang subyektif. Apakah apa yang saya nilai mengenai diri saya belum tentu seperti yang orang nilai atas saya? Apakah yang orang lain nilai mengenai diri saya adalah bukan seperti yang saya nilai atas diri saya sendiri? Akhirnya saya mencari jawaban dan menemukan pernyataan tegas atas diriku sendiri, "Bukan hanya penampilan yang saya butuhkan!"
Memang benar dalam masyarakat sudah terbentuk image bahwa seseorang yang secara penampilan lebih dari yang lainnya (Cantik, tampan, langsing, kekar, dll) akan memiliki peluang lebih besar untuk mencapai segalanya dibandingkan yang biasa-biasa saja. Padahal, kesempurnaan atau pun kecantikan itu adalah sebuah nilai yang relatif, karena berbeda antara satu individu dengan yang lain, antara satu budaya dengan yang lain, antara satu masyarakat dengan masyarakat lain.
Pada tahun 1891, seorang psychopathologist dari Italia, Enrique Morselli, memunculkan istilah dysmorphobia untuk menerangkan kondisi patologis seseorang, karena terus menerus memikirkan imagine defect, atau “kekurangan imajiner” dirinya. Istilah Body Dysmorphic Disorder (BDD), secara formal juga tercantum dalam Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder (4th Ed), untuk menerangkan kondisi seseorang yang terus menerus memikirkan kekurangan fisik minor atau bahkan imagine defect. Akibatnya, individu itu tidak hanya merasa tertekan, bahkan kondisi tersebut melemahkan taraf berfungsinya individu dalam kehidupan sosial, pekerjaan atau bidang kehidupan lainnya Padahal sebenarnya mereka tidaklah buruk seperti apa yang mereka pikirkan dan nilai. Bahkan, mereka tampak seperti orang-orang kebanyakan lainnya. Memang agak parah juga jika krisis ini terus berlanjut biasanya lambat laun mereka akan menunjukkan sikap pemalu, sulit menjalin kontak mata, komunikasi dan memiliki self esteem yang rendah. Mereka seringkali bertingkah ekstrim untuk mengkamuflase atau menutupi apa yang mereka anggap kekurangan yang memalukan. Misalnya, berulang kali bercermin, berdandan yang memakan waktu sangat lama. Mereka pikir, dengan berdandan dan mematut diri, akan mengurangi kecemasan, padahal, justru semakin lama, akan semakin membangkitkan kecemasan karena mereka semakin memperhatikan “kekurangan” tersebut.
Menurut Gary K. Arthur MD, penderita BDD pada umumnya mendatangi dokter, dermatologist, atau pun ahli bedak plastik, untuk menangani ketidakpuasan mereka terhadap beberapa bagian tubuh. Biasanya, banyak penderita BDD yang tidak hanya overly concern terhadap satu hal saja (misal, hanya pada bentuk hidung), tapi mereka biasanya juga tidak senang atau tidak puas terhadap beberapa bagian tubuh lainnya, seperti bagian dari wajah, rambut, bentuk tubuh, dan bagian tubuh yang lainnya.
Membangun konsep diri dan pola pikir yang lebih positif dan obyektif dalam menilai diri adalah merupakan solusi paling tepat untuk krisis ini. Selain itu, kita harus melatih diri untuk membangun alternatif strategi dan jalan keluar dalam mengatasi pikiran-pikiran obsessive yang mengganggu konsentrasi dan meningkatkan pengendalian diri terhadap tindakan kompulsif-nya (misalnya, untuk terus menerus bercermin). Yang tidak kalah pentingnya, adalah adanya dukungan keluarga atau sahabat untuk membicarakan emosi-emosi yang sedang kita rasakan , bersikaplah terbuka atas kekhawatiran dan kecemasan yang kita rasakan. Memang proses ini bukanlah proses yang mudah, namun membutuhkan pengertian dan kesabaran yang dalam. Bagaimana pun, masalah krisis Percaya Diri ini adalah masalah yang cukup rumit untuk dipecahkan sendirian. Kamu tahu, kita selalu butuh orang lain untuk memecahkan persoalan!
0 komentar:
Posting Komentar