Demo anti kenaikan tarif dasar listrik (TDL) makin lama makin riuh. Di berbagai kota masyarakat melakukan demo besar-besaran menentang kenaikan TDL. Para pelaku industri pun meradang: mereka akan memboikot pajak bila pemerintah nekat menaikkan harga listrik. Di pihak lain, pemerintah pun bersikeras: kenaikan TDL tak bisa ditawar-tawar lagi. Jika tak ada kenaikan TDL, PLN akan bangkrut.
Pada rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DR RI, Dirut PLN Eddie Widiono menjelaskan bahwa kebijakan kenaikan TDL pemerintah tak bisa ditunda-tunda lagi. Soalnya, dengan kenaikan BBM yang mencapai 100 persen lebih, biaya operasional PLN naik tinggi sekali. Walhasil, agar kinerja PLN tidak terganggu, kata Eddie, pihaknya butuh subsidi Rp 34,7 trilyun. Dari mana subsidi itu harus ditutup? Tentu dari rakyat juga, yang jelas sudah dialokasikan dari APBN subsidi Rp. 17 trilyun. Dengan menaikkan harga TDL lagi, jelas ini akan menambah beban masyarakat.
Logika tersebut memang benar kalau hitung-hitungan secara matematika ansich. Apalagi bila asumsinya setiap pembangkit listrik PLN menggunakan BBM. Tapi, bagaimana bila pembangkitnya menggunakan bahan bakar gas (BBG) atau batu bara? Tentu saja, nilai subsidinya akan berkurang jauh. Kita bisa melihat gambarannya: Jika pembangkit listrik menggunakan BBM, harga persatuan listriknya amat mahal Rp 1.426 per kWh. Sedangkan bila menggunakan BBG hanya Rp 220 per kWh - hampir sepertujuhnya.
Dengan melihat gambaran itu, persoalan yang perlu diperhatikan, bagaimana mengganti BBM pada pembangkit listrik dengan BBG. Ini perlu kebijakan pemerintah yang lebih progresif. Kenapa? Karena selama ini, Indonesia punya kebijakan aneh dalam penjualan BBG. Dijual murah ke luar negeri. Tapi dijual mahal ke dalam negeri.
Kebijakan yang lebih menguntungkan "luar negeri" tersebut hendaknya dibalik. Atau paling tidak disamakan, penjualan BBG untuk ekspor sama dengan di dalam negeri. Itu baru satu aspek. Aspek yang lain, korupsi dan inefisiensi yang menaikkan harga operasional, juga perlu dihilangkan dalam tubuh PLN yang terkenal korup itu. Jika hal-hal tersebut dihilangkan, niscaya PLN akan sehat dan dicintai rakyat.
Biofuel dan PLTN
Dengan melihat gambaran di atas - yaitu penggantian BBM ke BBG pada pembangkit listrik - yang bisa mengurangi subsidi, maka jika "reformasi" PLN di arahkan kepada pencarian sumber energi alternatif yang murah, niscaya harga TDL tidak perlu naik, bahkan bisa diturunkan. Dalam waktu dekat, misalnya, mungkin PLN bisa menggunakan biofuel yang murah dari minyak jarak. Dengan harga minyak jarak yang bisa mencapai Rp 4000 /liter, niscaya banyak yang bisa dihemat PLN.
Seandainya PLN punya "kebun energi" pohon jarak yang luas (misalnya menggunakan lahan-lahan di bawah sutet) sehingga mencukupi untuk kebutuhan bahan bakar pembangkit listrik PLN, niscaya PLN akan makin efisien lagi dan TDL akan terjangkau seluruh rakyatIndonesia. Belum lagi bila dikembangkan pembangkit-pembagkit listrik skala kecil seperti mikrohidro, panas bumi, angin, ombak laut, matahari, dan lain-lain - niscaya bangsa Indonesia akan full menikmati listrik. Murahnya biaya listrik akan berkorelasi dengan murahnya biaya hidup. Produk-produk Indonesia pun akan bersaing di pasar internasional karena harga jualnya yang kompetitif.
Di samping pembangkit listrik alternatif yang berteknologi "rendah" (biofuel, panas bumi, matahari, dan angin) - Indonesia pun harus mengembangkan pembangkit energi alternatif berteknolog tinggi - yaitu pembangkit listrik tenaga nulir (PLTN). Meski biaya pembangunan PLTN amat mahal sekitar Rp 20 trilyun untuk kapasitas 1000 MW, tapi setelah berproduksi, harga persatuan listriknya amat kompetitif. Saat ini, misalnya, harga jual listrik dengan bahan bakar konvensional mencapai Rp 4,5-5 sen USD perkilowatt, sedangkan bila pakai bahan bakar nuklir (uranium) harganya Cuma 3,5-4,2 sen USD. Disamping itu, PLTN relatif aman dari polusi udara. PLTU dan PLTG misalnya, melepaskan gas rumah kaca yang amat banyak di udara - sementara pada PLTN tidak ada sama sekali gas tersebut.
Yang lebih penting lagi, karena PLTN padat teknologi tinggi, maka proyek ini pun bisa menjadi "investasi" SDM berkualitas tinggi. Di samping itu, kehadiran PLTN pun bisa dimanfaatkan untuk pusat-pusat penelitian yang lain seperti penelitian pangan, tumbuhan, bahan baku industri, konstruksi, dan lain-lain. Kehadiran PLTN bisa memicu multiplier effect yang besar sekali dalam pembangunan teknogi.
Dengan melihat manfaat PLTN yang besar tersebut, kita tidak heran mengapa negara seperti Iran yang kekayaan BBM-nya masih melimpah ruah, bertekad keras untuk mengembangkan PLTN-nya. Kekhawatiran AS dan sekutunya terhadap kehadiran PLTN di Iran sebetulnya bukan hanya pada kemungkinan dimanfaatkannya PLTN untuk membuat senjata nuklir, tapi juga berkembangnya multiplier effect (SDM kualitas tinggi dan penelitian strategis yang lain) yang bisa didapat dari manfaat samping PLTN. Bila Iran secara SDM kualitasnya amat tinggi, niscaya negara-negara tertentu yang selama ini amat pro-Barat akan ketakutan. Maklumlah sejak revolusi Imam Khomeini, Iran terkenal anti-Barat.
Dalam RDP antara Komisi VII dengan Kepala Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) Soedyartomo Soentono, diperoleh gambaran bahwa Indonesia membutuhkan sedikitnya empat reaktor PLTN berkapasitas 1000 MW sampai tahun 2025, karena pada saat itu kebutuhan listrik di Indonesia sudah mencapai 100 gigawatt dan porsi PLTN yang diharapkan adalah 4000 MW. Namun demikian, di masa depan bila kebutuhan listrik makin besar, PLTN perlu ditambah lagi.
Indonesia, bisa dikatakan ketinggalan dalam pemanfaatan PLTN. Di dunia, misalnya, sudah ada 441 reaktor PLTN. Sampai tahun 2020 PLTN akan bertambah 126 buah. Dari jumlah itu, 40 di antaranya berada di Cina. Cina sudah bertekad memanfaatkan PLTN yang murah, aman, dan bersih untuk memenuhi kebutuhan 1,3 milyar penduduknya. Kita pun bisa belajar dari Prancis yang telah memenuhi 78 persen kebutuhan listriknya dari PLTN. Jepang juga, sekitar 40 persen kebutuhan listriknya diperoleh dari PLTN.
Sayangnya, bagi Indonesia pembangunan PLTN selalu menuai "kontroversi". Rencana pemerintah untuk membangun PLTN di Jepara, misalnya, beberapa kali kandas di tengah jalan. Banyaknya masyarakat yang kontra dan krisis ekonomi menjadikan rencana pembangunan PLTN terhambat. Padahal, secara SDM, teknologi, dan kerjasama internasional (Badan Energi Atom Internasional atau IAEA sudah mengizinkan Indonesia untuk membangun PLTN) sudah tidak ada masalah.
Sayangnya, pemerintah dan sebagian elemen masyarakat masih kurang percaya diri. Dalam kaitan inilah, pemerintah harus menentukan policy yang tegas: membangun PLTN untuk memperoleh listrik murah, aman, dan bersih secepatnya. Tanpa ada keberanian tersebut, bangsa Indonesia akan tertinggal terus. Sampai kapan? Atau Presiden SBY perlu belajar kenekatan Ahmadinejad yang berani melawan AS ntuk membangun PLTN-nya!
0 komentar:
Posting Komentar